Latar Sejarah Munculnya Wasiat
Pada bulan Sya’ban tahun keenam Hijriah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
sebagai pimpinan Negara Islam Madinah pada saat itu mengutus seorang
duta untuk berdakwah ke daerah perbatasan antara Jazirah dan Syam, yakni
sebuah wilayah datar yang dikenal dengan nama Daumatul Jandal (Moenawar
Chalil, 2001). Daerah ini berada di timur laut Madinah dengan jarah
tempuh sejauh 15 hari perjalanan dari Madinah dan sudah dekat dengan
Damaskus. Disana hiduplah satu bani (keluarga/suku) yang dikenal dengan
nama Bani Kalb (keluarga anjing) yang mayoritasnya beragama Kristen
Katolik, sebagaimana agama penguasa mereka yakni Kekaisaran Romawi
sebelum akhirnya cahaya Islam datang menyinari kehidupan mereka. Sebab
daerah ini berada di pinggiran Syam, maka meskipun bernama Suku Anjing,
namun rupa mereka tidaklah buruk menyerupai anjing. Mereka lebih mirip
orang-orang Syam, dengan badan tinggi dan wajah-wajah yang cantik dan
tampan.
Sebagai pembawa risalah, menjadi tugas utama Rasulullah-lah untuk
berdakwah. Menyerukan kalimat tauhid hingga tiada satu manusia pun di
muka bumi yang mengingkari keesaan dan kekuasaan Allah semata adalah
misi utama dari dakwah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Selain itu sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan, tentu
Rasulullah memiliki otoritas penuh untuk mengutus duta-duta negara ke
suatu wilayah demi mengemban amanah penyampaian risalah Islam ke seluruh
pelosok. Maka pengutusan duta ke Daumatul Jandal ini pula bagian
daripada syiar Islam yang dilakukan oleh Rasulullah beserta para
shahabat guna memurnikan tauhid pada mereka yang telah mencemarinya,
atau mengenalkannya pada mereka yang belum mengenalnya. Terlebih lagi
Daumatul Jandal adalah salah satu wilayah strategis sebab ia adalah
pintu gerbang yang biasa dilalui kafilah dagang yang hendak lalu lalang
dari Hijaz dan Jazirah ke Syam atau sebaliknya, bila wilayah ini telah
disinari dengan cahaya Islam tentulah akan memudahkan Islam untuk lebih
tersebar luas lagi pada masa nantinya.
Tersebutlah seorang shahabat utama dari golongan As-sabiqun Al-Awwalun sekaligus Muhajirin bernama Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu. Satu diantara sepuluh shahabat yang semasa hidup pun telah Rasulullah jaminkan masuk ke dalam surga. Seorang shahabat yang teramat kaya, bahkan ia sanggup menyumbang 700 ekor unta bermuatan harta benda penuh untuk dakwah Islam dan perjuangan di jalan-Nya. Yang meski demikian ia tetaplah zuhud dan anti kekuasaan. Sebab tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab menunjuknya sebagai salah seorang yang pantas dibai’at sebagai khalifah umat Islam sepeninggal beliau, maka Abdurrahman bin ‘Auf dengan tegas menolaknya (Khalid Muhammad Khalid, 2007).
Dialah Abdurrahman bin ‘Auf yang dipilih Nabi sebagai duta ke
Daumatul Jandal, lengkap bersama sejumlah pasukan untuk mengantisipasi
kalau-kalau Bani Kalb malah menyatakan perang. Sebagai salah satu
generasi yang paling awal dibina Rasul, bahkan jauh sebelum Rasul
menjadikan Darul Arqam di Makkah sebagai pusat pembinaan ke-Islaman,
Abdurrahman bin ‘Auf dipandang telah matang dan sangat representatif
untuk menyampaikan Islam ke Daumatul Jandal.
Sebagaimana duta-duta Islam yang lain, adalah suatu hal yang lazim
bagi mereka untuk mendapatkan wasiat dari Rasulullah sebelum
keberangkatannya sebagai bekal ruhaniyyah di perjalanan. Maka pagi itu
datanglah Abdurrahman bin ‘Auf menghadap Nabi, dan dalam forum itu turut
serta pula seorang shahabat bernama Abdullah putra dari Umar bin
Khattab yang dalam riwayat dikisahkan telah bertekad sedari malamnya
untuk bisa mengikuti forum itu demi mendengar wasiat Rasulullah pada
Abdurrahman bin ‘Auf. Abdullah bin Umar inilah yang kemudian menjadi
perawi (periwayat) dari hadits wasiat Rasulullah untuk Abdurrahman bin
‘Auf. Dan tentu saja amalan beliau yang bertekad kuat untuk datang ke
forum itu karena hausnya akan ilmu, lalu turut menyimak wasiat
Rasulullah, dan akhirnya mampu meriwayatkan hadits ini amatlah sangat
mulia, sepatutnya kita mampu mencontoh semangat beliau dalam mencari
ilmu.
Isi Wasiat
Apakah kiranya wasiat Rasulullah pada Abdurrahman bin ‘Auf itu? Marilah kita simak dengan seksama. Dalam kitab At-Targhib wat-Tarhib karya Imam Al-Mundziri, dicatatlah hadits yang sangat berharga itu, yakni pada bab Peringatan dari Mengurangi Takaran dan Timbangan, disebutkan:
Ibnu ‘Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke arah kami dan
bersabda: ‘Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang menimpa
kalian (dan aku berlindung kepada Allah supaya kalian tidak
menjumpainya); (1)Tidaklah tampak pada suatu kaum
perbuatan zina sehingga dilakukan secara terang-terangan (sebab telah
terbiasa dan telah hilang rasa malu) melainkan akan tersebar tha’un
(wabah) di tengah-tengah mereka dan penyakit-penyakit yang tidak pernah
menjangkiti generasi sebelumnya; (2)Tidaklah mereka
mengurangi takaran dan timbangan melainkan (mereka) akan ditimpa
paceklik, susahnya penghidupan dan kezhaliman penguasa atas mereka; (3)Tidaklah
mereka menahan zakat (tidak membayarkannya) melainkan akan ditahan
hujan dari langit untuk mereka (tidak akan diturunkan hujan), dan
sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi
hujan; (4)Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka
dengan Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah akan menjadikan musuh mereka
(dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu
musuh tersebut mengambil sebagian dari apa yang mereka miliki; (5)Dan
selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum Muslimin) tidak berhukum dengan
Kitabullah (Al-Qur’an) dan (tidak pula ia) mengambil yang terbaik dari
apa-apa yang diturunkan oleh Allah (yakni syariat Islam), maka Allah
akan menjadikan permusuhan di antara mereka (memecah belah mereka).’.” (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim, hadits shahih).
Hikmah dan Pelajaran Dari Wasiat Tersebut
Inilah lima wasiat besar Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada
Abdurrahman bin ‘Auf saat melepas keberangkatannya untuk berdakwah ke
Daumatul Jandal. Dan sungguh wasiat ini hakikatnya tidak hanya berlaku
pada masa itu sahaja, tidak pula hanya berlaku untuk Abdurrahman bin
‘Auf saja, melainkan wasiat ini ialah untuk seluruh pengikutnya dari
masa ke masa, dimanapun mereka berada. Sungguhlah bila kita bercermin
atas apa yang terjadi pada tubuh umat Islam belakangan ini, terlebih
lagi pada tubuh umat Islam di Indonesia, akan kita dapati kebenaran dari
pesan Rasulullah sang khatamul anbiya’.
Tidakkah hadits ini cukup menjadi tamparan untuk kita? Sungguh benarlah setiap sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka sudah saatnyalah kita berbenah meninggalkan kebiasaan kita yang
kelam. Wahai umat Islam, marilah kita kembali pada Allah dan Rasul-Nya.
Berhentilah mengatakan “tak perlulah mencampurkan urusan dunia dengan
urusan agama”, karena sungguh Rasulullah mengajarkan bahwa Islam itu
melingkupi seluruh aspek kehidupan. Islam tak hanya bicara soal ibadah
maghdhah dan akhirat semata, melainkan ia juga mengatur urusan dunia.
Bila kita meninggalkan Islam di satu saja aspek kehidupan dunia, maka
kerugian besar akan menimpa kita.
Cukuplah sudah kita acuh dengan perzinahan yang seakan sudah menjadi
hal biasa, hentikanlah semampu kita karena Allah dan Rasul telah
melarangnya. Cukuplah sudah kecurangan dan tipu daya merajalela, bahkan
tak jarang kita ikut andil didalamnya, hentikanlah agar Allah tak
semakin murka kepada kita. Cukuplah sudah kita lalai dari membayarkan
zakat-zakat kita selama ini, atau Allah akan menurunkan azab-Nya kepada
kita. Dan cukuplah sudah kita ingkari janji kita pada Allah dan
Rasul-Nya selama ini dengan tiada taat pada-Nya. Ingatlah bahwa sebelum
Allah tiupkan ruh kita ke jasad yang lemah ini, Allah telah terlebih
dahulu menagih ikrar kita: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah
Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami
bersaksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’.” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 172)
Dan akhirnya, cukuplah sudah kesombongan kita yang lebih suka
berhukum dengan hukum yang dibuat-buat oleh manusia ketimbang
menggunakan hukum yang sudah diturunkan oleh Allah dan telah dicontohkan
oleh Rasul-Nya, kemudian malah menganggap hukum karangan manusia itu
lebih baik dari apa yang telah Allah syariatkan lalu dengan beraninya
kita mencela hukum yang datang dari sisi-Nya. Belumkah kita membaca
firman Allah yang artinya: “…Barang siapa yang tidak memutuskan
(suatu perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 44)
Marilah kita renungi diri, sudahkah kita menghindarkan diri dari 5
hal dalam wasiat Rasulullah itu? Dan sudahkah kita berjuang menjauhkan
lingkungan kita dari 5 hal yang mengundang 5 bala yang besar itu? Karena
sungguh Rasulullah menggunakan kosakata “kaum” dalam wasiatnya itu, bukan orang per orang. Dan sungguh Allah pun telah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan
peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang
yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya.” (Q.S. Al-‘Anfaal [8]: 25).
Maka keshalihan individu saja tidaklah cukup untuk menghindarkan diri
dari bencana-bencana itu. Perlu usaha yang keras untuk menyeru diri dan
umat untuk bersama-sama menjauhi 5 maksiat besar sehingga terhindarlah
kita dari 5 musibah yang besar itu. Semoga tulisan ini pun termasuk
diantara usaha kita untuk menjauhkan diri dari bala dan mendekatkan diri
pada Allah ‘Azza wa Jalla, amin ya Rabbal ‘alamin.
0 komentar:
Posting Komentar