“Sesungguhnya ada manusia yang memiliki daya ungkap yang baik, maka barangsiapa ucapannya sesuai dengan perbuatannya, orang itu telah menemui nasib baiknya. Dan barangsiapa ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, maka sesungguhnya dia telah mencederai dirinya sendiri.”
Astaghfirullah… Kalimat pertama memang
manis. Tapi menyelami kalimat berikutnya, tak membuat diri merasa selamat dari
tenggelam dalam lautan isak tangis.
Apa sebab? Ya, karena takut. Takut untuk menuliskan sesuatu yang diserukan namun tidak diamalkan.
Apa sebab? Ya, karena takut. Takut untuk menuliskan sesuatu yang diserukan namun tidak diamalkan.
Padahal
Allah subhanahu wata’ala juga telah mengancam penyeru yang miskin dalam
amalan pada Qur’an Surat Ash Shaf ayat 3.
كَبُرَ
مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”
Namun,
alhamdulillah di dalam Islam ada khauf ada roja’. Itu
berarti selain ada rasa takut (melakukan salah), juga ada rasa (penuh) harap.
Takut salah itu baik, tapi menyeimbangkannya dengan semangat mengharapkan
kebaikan bagi ummat, jauh lebih baik.
Maka
menuliskan kebaikan tentu lebih maslahat daripada urung menulis karena
takut salah atau takut tidak ada yang membaca. Ya… sebagai pelipur lara,
rupanya ayat berikut harus dicamkan dalam diri.
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan
Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (QS. At Taubah:105)
Terlebih
menulis kreatif untuk berdakwah tentu bernilai ibadah. Asal sarat dan ketentuan
yang berlaku dapat kita penuhi.
Kalau
kita telisik Kaidah Ushul Fiqih, “Dalam urusan mu’amalat, segala sesuatu
itu boleh; kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Sementara, “Dalam urusan
ubudiyah, segala sesuatu itu haram; sampai ada dalil yang memerintahkannya.”
Dengan
demikian, perintah berdakwah hukumnya wajib. Terkait cara menyampaikannya,
secara umum Allah ta’ala telah memerintahkannya dalam Qur’an Surat An Nahl ayat
125.
دْعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Maasyaa
Allah,
dari ketakutan, Allah berikan petunjuk untuk menggapai harapan. Untuk
berdakwah, Allah mutlakkan perintah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu.”
Ini berarti menyeru hanya ke jalan Allah saja.
Namun
terkait ufuk mana yang harus diliputi, maka apa saja rupa seruan dakwah menuju
keridhoan Allah, baik berupa anjuran dan ajakan untuk berakhlak utama dan
mulia, serta menerapkan syariat dalam diri, keluarga dan masyarakat, itu
termasuk ke dalamnya.
Sedangkan
secara tersurat, dalam Ad Da’wah Al Islamiyyah Baina Al Fardoyah wa Al
Jamaiyah, Sulaiman Marzuq memaparkan tiga pola teknis dakwah yang Allah
ajarkan kepada kita dari ayat tersebut di atas yakni, (1) dengan hikmah, (2)
dengan pelajaran yang baik, dan (3) dengan bantahan yang baik (santun).
Hal
itu juga dijabarkan Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Qur’an Bab 4 halaman
2198,
“Sesungguhnya dakwah kepada jalan Allah itu, bukanlah hanya pada pribadi dan bukan hanya pada kaumnya saja. Dakwah haruslah dilakukan dengan penuh hikmah, dan hendaknya senantiasa melihat pada kondisi orang yang diajak dan kemampuan mereka, dijelaskan dengan bertahap sehingga tidak memberatkan mereka dan mereka tidak merasa berat dengan tugas dan kewajiban-kewajiban, sebelum mereka siap secara psikologis. Sedangkan cara yang mereka lakukan hendaknya dilakukan sesuai dengan tuntutan yang diharapkan. Maka janganlah dakwah itu dilakukan dengan cara yang terlalu agresif serta terlalu bergairah, sehingga melampaui batas hikmah secara keseluruhan.”
“Sesungguhnya dakwah kepada jalan Allah itu, bukanlah hanya pada pribadi dan bukan hanya pada kaumnya saja. Dakwah haruslah dilakukan dengan penuh hikmah, dan hendaknya senantiasa melihat pada kondisi orang yang diajak dan kemampuan mereka, dijelaskan dengan bertahap sehingga tidak memberatkan mereka dan mereka tidak merasa berat dengan tugas dan kewajiban-kewajiban, sebelum mereka siap secara psikologis. Sedangkan cara yang mereka lakukan hendaknya dilakukan sesuai dengan tuntutan yang diharapkan. Maka janganlah dakwah itu dilakukan dengan cara yang terlalu agresif serta terlalu bergairah, sehingga melampaui batas hikmah secara keseluruhan.”
Selain
itu, beliau juga mengatakan bahwa,
“Dan
dakwah hendaklah disampaikan dengan nasihat yang baik yang meresap ke dalam
kalbu dengan halus, dan menyentuh perasaan dengan lembut, dan bukan dengan
kekerasan dan kekakuan yang bukan pada tempatnya. Jangan pula dengan
menelanjangi kesalahan yang mungkin saja terjadi karena kebodohan atau karena
adanya niat baik (tetapi caranya keliru, red.). Sebab nasihat-nasihat yang baik
sering kali membawa hati-hati yang terlantar pada hidayah Allah, dan menaklukan
hati yang terpencar-pencar. Dia jauh lebih baik manfaatnya daripada dengan cara
mengancam, menghina, dan merendahkan.”
Sementara
makna “bantahan dengan baik” dijelaskan beliau sebagai,
“…tanpa
ucapan berlebihan, tanpa harus diselingi dengan penghinaan dan pelecehan,
sehingga seorang dai merasa tenang dan merasa bahwa tujuan dakwahnya bukan
menang dalam perdebatan, namun membuat orang itu puas (akalanya) dan sampai
pada kebenaran.”
Allahu
akbar,
selain memberikan tugas dakwah, Allah subhanahu wata’ala juga
menyertakan petunjuk teknis menjalankannya. Adapun sarana dakwahnya, karya
tertulis bukanlah satu-satunya cara menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Media
cetak, sarana audio, juga media audio-visual, bahkan media digital yang kini
kian canggih pun dapat menjadi fasilitas mensyi’arkan Kalamullah.
Selama
semua bentuk dakwah disajikan tidak bertentangan dengan akidah yang shahih,
keimanan yang menghunjam, akhlak yang mulia, contoh yang baik, adab dan tradisi
yang menjadikan kita bangga dengan Al Islam, maka kita turut memenangkan
Diin yang Haq ini seperti yang diemban Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Semoga
kiprah kita dalam dakwah kreatif dapat menghilangkan dahaga Ummat Islam atas
metode-metode yang berbuah kebosanan dan menjauhkan masyarakat dari kebenaran. Aamiin.
Sumber
: creativemuslim/arrahmah.com)
Merangkai
kata secara kreatif demi kemaslahatan ummat (baca: dakwah tertulis)
membuat jantung kembang kempis. Betapa tidak, belum lagi menulis, ucapan
Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Al Fawaid halaman 192 sudah mengancam
sampai relung hati yang paling dalam. - See more at:
http://www.arrahmah.com/kontribusi/menulis-apa-kita-hari-ini.html#sthash.NuTVYh0M.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar